Bom Ikan Marak, Abrasi Laut Semakin Parah
Perihal jalan, Camat Paternus Adja juga menyebutkan adanya dana sebesar Rp 75 juta yang diperuntukan membangun jalan lingkungan sepanjang seribu meter. Di samping itu, akan ada juga dana bagi rehabilitasi kali Nangaboa.
Selain membeberkan minimnya prsasarana jalan raya, Camat Nangaroro juga menjelaskan tentang maraknya aksi pemboman ikan oleh para nelayan asal Pulau Ende di wilayah perairan Kecamatan Nangaroro. Dalam tahun 2010 ini, setiap bulannya selalu terjadi pemboman ikan. Pihaknya bersama aparat keamanan hanya bisa menonton dari jauh. Pihaknya juga sudah berulang kali mengejar namun karena speed boat yang digunakan kecepatan lebih rendah dibandingkan perahu motor yang dimiliki para nelayan asal Pulau Ende. Selain itu, pihaknya juga tak bisa memaksakan diri untuk menangkap karena takut dilempari bom ikan. Camat Nangaroro berharap agar pemerintah kabupaten bisa memberikan bantuan speed boat yang kecepatannya jauh lebih cepat dibandingkan yang dimiliki nelayan.
Selain masalah bom ikan, pada kesempatan tersebut, Camat Nangaroro juga membeberkan tentang abrasi pantai yang semakin parah. Setiap tahun di sepanjang pantai Nangaroro selalu tersapu oleh ombak. Air laut masuk sampai di badan jalan. Di Desa Woewutu misalnya, kondisi paling parah. Banyak warga pesisir yang sudah mengungsi dan banyak rumah yang sudah rubuh tertimpa ombak. Dikatakannya, Wakil Bupati Nagekeo, Drs. Paulus Kadju, bersama tim dari propinsi sudah melihat lokasi bencana tersebut. Ia berharap agar pemerintah kabupaten bisa respon terhadap keluhan masyarakatnya yang kehilangan rumah akibat abrasi pantai.
Tanam Bakau dan Pandan
Bupati Nagekeo, Drs. Yohanes Samping Aoh, mengaku terkejut atas merajalelanya aksi bom ikan. Namun, Bupati Nagekeo mengingatkan, terjadinya bom ikan pasti ada penyebabnya. Penyebabnya adalah terkadang orang atau nelayan Nangaroro sendiri yang memanggil nelayan dari Pulau Ende untuk datang membom ikan.
“Semangat melestarikan lingkungan itu harus bersama-sama. Jangan yang lain ada semangat itu tapi yang lainnya malah merusaknya. Merusak lingkungan itu sama dengan merusak masa depan, “ujarnya.
Bupati Nagekeo, mengatakan, lingkungan yang rusak menandakan masa depan kita juga tak menentu. Ia mencontohkan, satu terumbu karang yang rusak maka ratusan tahun baru bisa tumbuh. Dengan rusaknya terumbu karang, ia khawatir jangan sampai anak cucu tak mengenal yang namanya Ikan Tepe (tembang) atau ikan kombong. Padahal, kata dia, perairan kita ini mempunyai potensi yang sangat besar.
“Kalau kurang sarana seperti speed boat maka kita bisa usahakan untuk pengadaan yang kekuatannya lebih besar, tapi kalau terumbu karang sudah rusak maka butuh waktu yang sangat lama untuk bisa tumbuh, “ujarnya.
Bupati Nagekeo, Yohanes Samping Aoh, mengingatkan semua masyarakat untuk menjaga laut agar masyarakat nelayan bisa mudah mencari ikan. Sementara soal abrasi pantai, Bupati mengatakan, sambil menanti uluran tangan dari Pemerintah Propinsi NTT, kita harus menggalakan penanaman bakau atau pandan di sepanjang pantai.
“Kita toni go peda mesi atau pandan laut. Biasanya kalau ombak itu air laut hanya sampai di peda mesi saja. Saat pekan penghijauan atau sebulan sekali atau seminggu sekali kita tanam bakau dan peda mesi. Selain itu kita juga tanam kembali waru. Saya berharap ada kerja sama dengan pihak Polsek dan Babinsa dalam hal penertiban dan pengawasan laut serta kegiatan penghijauan agar laut kita tidak tercemar atau rusak dan tidak terjadi lagi abrasi pantai, “ujarnya.
Bupati Nagekeo, menambahkan,
Selain menanggapi soal pengawasan laut dan abrasi, Bupati juga mengatakan, pemerintah akan memberikan perhatian kepada para nelayan dengan memberikan bantuan peralatan tankap ikan secara bertahap. Di hadapan masyarakat, ia juga tak henti-hentinya mengingatkan untuk selalu menjaga bersama-sama lingkungan laut.
“Saya ada kaset tentang potensi laut mulau dari Nangaroro sampai Mauponggo. Potensi pantai selatan kita sangat bagus. Karena itu jalan dari Nangaroro menuju Maunori akan kita tingkatkan secara bertahap. Kita harus bantu masyarakat pesisir yang prasarana jalannya masih sangat terbatas, “tambahnya.
Bupati Nagekeo juga menambahkan, pemerintah akan membangun prasarana jalan di semua desa secara bertahap. Kepada masyarakat dimintanya untuk bersabar karena pemerintah akan melihat prioritas berdasarkan kemampuan fiscal daerah.
Sementara itu, Anggota DPRD Kabupaten Nagekeo, Frnasiskus Ave, mengatakan, banyak desa hingga saat ini masih sangat tertinggal karena tidak ada jalan seperti Desa Utetoto, Degalea, Kotakeo, Podenura dan desa-desa lainnya. Ia berharap agar pemerintah tidak sekedar berjanji tapi harus merealisasikannya.
Pembagian Zona
Secara khusus terkait abrasi pantai, di bagian terpisah, aktivis lingkungan hidup dari Lembaga Studi Advokasi Rakyat (ELSAR) Propinsi Nusa Tenggara Timur, Haji Ishak Djawa dan Silvester Nusa, mengemukakan, penanaman bakau merupakan cara efektif untuk mencegah abrasi pantai. Hutan bakau memiliki sistim perlindungan dan pengamanan kawasan pesisir yang sangat baik. Setiap gelombang pasang yang datang mampu diredakan melalui hutan yang lebat. Tidak mengherankan, banyak daerah yang memiliki hutan bakau umumnya lolos dari terjangan tsunami. Haji Ishak Djawa dan Silvester Nusa mengusulkan agar pemerintah dan masyarakat dapat menggalakan penanaman bakau di sepanjang daerah pesisir yang potensial terjadi tsunami atau air pasang.
“Departemen Kehutanan sejak tahun 2004 hingga saat ini terus mengalokasikan dana sebesar Rp 806 Milyar yang diambil dari sisa dana Gerakan Nasional Reboisasi Lahan setiap tahunnya, “kata Haji Ishak Djawa usai menemui Direktur Jenderal Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Kementerian Kelautan dan Perikanan RI di Jakarta Rabu (6/1/2011) pekan lalu.
Melalui telepon selulernya, Haji Ishak Djawa, mengatakan, hutan bakau yang memiliki ketebalan 60 meter sampai 75 meter dari bibir pantai akan mampu mengurangi ketinggian gelombang laut sekitar 3,5 meter. Sementara itu rekannya Silvester Nusa mengemukakan, jika terjadi gelombang pasang setinggi 4,5 meter di suatu daerah yang memiliki hutan bakau dengan lebar 65 meter dari bibir pantai akan mampu menurunkan gelombang sehingga saat di bibir pantai, gelombang itu semakin pendek yakni tersisa satu meter. Haji Ishak Djawa dan Silvester Nusa, mengatakan, tahun 2005 saat melakukan penelitian lingkungan hidup di Banda Aceh dan Simeulue, pihaknya menemukan sejumlah fakta menarik. Pertama, gelombang tsunami semakin jauh masuk ke daratan jika tipe pantai teluk. Pada pantai terbuka, dampaknya lebih kecil. Banda Aceh sendiri merupakan pantai teluk sedangkan Simeulue termasuk pantai terbuka. Kedua, gelombang akan semakin jauh masukke daratan jika tipe pantai datar. Ini bertolak belakang jika pantai curam. Aceh merupakan pantai datar sedangkan Simeulue tergolong pantai berbukit. Ketiga, gelombang akan semakin jauh masuk ke daratan jika kondisi pesisirnya miskin mangrove atau bakau. Kondisi gelombang bertolak pada wilayah pesisir dengan mangrove yang intensif.
“Ketebalan bakau sekitar 1.200 meter mampu mengurangi gelombang tsunami sekitar dua kilo meter, “ujar Nusa.
Keempat, gelombang tsunami semakin pendek masuk ke daratan pada lahan pesisir dengan kebun ekstensif dan massa bangunan bertingkat yang memenuhi persyaratan teknis bencana. Massa bangunan di kawasan perdagangan, perhotelan dan kantor pemerintahan dapat bertahan dari kehancuran daripada massa bangunan di kawasan perumahan.
Haji Ishak Djawa dan Sil Nusa mengusulkan kepada pemerintah untuk menetapkan zona pemanfaatan wilayah pesisir rawan gelombang pasang. Pembagian zona ini patut mempertimbangkan adanya wilayah konservasi, penyangga dan zona pemanfaatannya. Langkah yang perlu dilakukan dalam penataan ini adalah penentuan batas minimal zona konservasi, zona penyangga dan pola struktur tata ruang pada kawasan pesisir gelombang pasang dengan meminimalisasi kemungkinan bahayanya. รจ sil aegela
Tidak ada komentar:
Posting Komentar