Jumat, 27 Mei 2011

Quo Vadis Pariwisata Manggarai Barat

Oleh : Yustinus Ade Stirman, Msi.
Tak dapat dipungkiri, bahwa sektor pariwisata memainkan peran penting dalam percaturan ekonomi dunia saat ini. Setidaknya ini berdasarkan hasil observasi WTO (World Tourism Organization) yang menyatakan, bahwa pariwisata merupakan industri terbesar ketiga di dunia setelah migas dan elektronik. Hasil observasi WTO ini menyebutkan, bahwa pariwisata mampu menyumbangkan pendapatan sebesar 3,5 triliun dolar Amerika. Atau setara dengan 6,6 persen pendapatan kotor dunia. Lebih lanjut WTO memprediksikan, kelak pariwisata merupakan penggerak perekonomian dunia di abad 21. 
Peran pariwisata sebagai pendongkrak ekonomi bangsa memang tidak perlu diragukan. Ketika krisis moneter melanda Negara-negara berkembang tahun 1997, Thailand adalah satu-satunya Negara yang paling cepat bangkit dari keterpurukan ekonominya. Dengan menggenjot pariwisata, Negara ini mampu keluar dari krisis ekonomi dan berhasil melunasi utang pada IMF (International Moneter Fund). Pada saat itu, yang dilakukan Negara ini adalah menggalakkan, mendorong serta membangkitkan kehidupan pariwisata yang dilakukan secara all out dengan melibatkan hampir semua masyarakat. Mulai dari semua Menteri Kabinet hingga anak-anak sekolah. 
Lalu, bagaimana dengan Indonesia. Meskipun Negara ini kaya dengan berbagai potensi wisata, baik wisata alam maupun wisata budayanya, bahkan lebih kaya dari Thailand, namun sumberdaya yang ada belum bisa mengantar Indonesia keluar dari krisis yang berkepanjangan sejak Indonesia dilanda krisis tahun 1997. Memang Jero Wacik sebagai Menteri Pariwisata di era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah melakukan berbagai hal dalam mempromosikan pariwisata ke luar negeri. Namun hasilnya belum signifikan bila kita merujuk pada potensi wisata yang kita miliki. Dengan lain kata, potensi pariwisata yang melimpah tadi belum bisa dikelolah secara maksimal seperti apa yang dilakukan Thailand.
Potret suram lemahnya pengelolaan pariwisata di tingkat nasional juga tergambar bagaimana daerah mengelolah pariwistanya. Kabupaten Manggarai Barat misalnya. Kabupaten di ujung barat Pulau Flores yang terkenal dengan Buaya Komodo yang telah mendunia ini, bahkan saat ini masuk dalam daftar warisan dunia (a World Heritage Site) belum mampu dikelolah dengan maksimal dan menyejahterakan masyarakat Manggarai Barat.  
Berdasarkan data TNK bahwa jumlah kunjungan wisatawan antara 2005 – 2009  terus meningkat. Tahun 2005, jumlah wisatawan asing maupun domestik yang berkunjung ke Manggarai Barat sebanyak 18.646 wisatawan. Angka ini terus bergerak menjadi 17.673 orang tahun 2006, kemudian 20.069 orang di tahun 2007. Tahun 2008 dan 2009, jumlah kunjungan  wisatawan, masing-masing  21.766 orang dan 112.585 orang.
Ironi Pariwisata Manggarai Barat
Pertanyaannya, apakah meningkatnya jumlah kunjungan wisatawan di Taman Nasional Komodo itu berbanding lurus dengan meningkatnya pendapatan masyarakat lokal, khususnya Masyarakat yang tinggal di Pulau Komodo itu sendiri. Jawabannya, belum! Berdasarkan data BPS Manggarai Barat, angka kemiskinan di Desa Komodo tahun 2009, sangat memprihatinkan. Bayangkan, 368 KK di desa ini, angka rumah tangga miskin sebanyak 214 KK atau 58,15 persen.
Dalam teori ekonomi pembangunan ada sebuah teori yang terkenal, yaitu Teori Trickle Down Effect. Teori ini menjelaskan tentang bagaimana sebuah pertumbuhan akan berdampak pada kemakmuran sebuah negara. Dalam pandangan teori ini, suatu suntikan ekspansi ekonomi akan berdampak pada multiplier effect terhadap pelaku ekonomi di bawahnya, sehingga akan berimbas pada kemakmuran. Realita yang terjadi di Desa Komodo tadi, setidaknya menggambarkan, bahwa kehadiran binatang langka komodo itu, belum menetes ke masyarakat setempat.
Hasil BPS tadi semakin diperkuat dengan hasil penelitian Antonius Asri, mahasiswa Magister Kajian Pariwisata UGM, tahun 2010.  Dalam tesisnya berjudul, Pemberdayaan Masyarakat Kampung Komodo dalam Pengembangan Ekowista di Loh Liang Taman Nasional Komodo, Anton mengemukakan, bahwa dampak dari kehadiran Taman Nasional Komodo dan pengembangan pariwisata di kawasan Taman Nasional Komodo bagi masyarakat setempat, dinilai masih rendah. Sebagian besar masyarakat (66 persen) menyatakan, Keberadaan Taman Nasional Komodo dan pengembangan ekowista di Taman Nasional Komodo tidak memberi keuntungan bagi masyarakat. Hanya 14 persen responden yang menyatakan kehadiran TNK dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat.
Tingginya angka kemiskinan ini, seperti yang diuraikan Antonius Asri  dalam hasil penelitiannya, salah satu penyebabnya adalah adanya kebijakan zonasi pengelolaan Taman Nasional Komodo yang berdampak pada terbatasnya akses mata pencarian masyarakat Kampung Komodo yang nota bene sebagian besar adalah nelayan. Kebijakan ini belum diikuti dengan diservikasi mata pencarian masyarakat Kampung Komodo dalam usaha pariwisata. Komitmen pengelola untuk melakukan pemberdayaan masyarakat setempat dalam bidang usaha wisata belum optimal. Bahkan terkesan profit oriented sehingga sebagian besar kegiatan dan usaha pariwisata di Loh Liang  Pulau Komodo, dimonopoli oleh pengelola.
Apa yang terjadi dengan masyarakat Kampung Komodo, membuat kita miris. Tak hanya terkait dengan keberadaan binatang purba Varanus Komodoensis, tapi juga terkait dengan obyek-obyek wisata lainnya yang belum dikelola secara optimal, seperti, keindahan Pantai Pede, Pulau Bidadari, Batu cermin, Wae Cicu, pesona alam Danau Sano Nggoang, air terjun Cunca Wulang dan Cunca Rami di Kec. Sano Nggoang. Semuanya itu, belum mampu mensejahterahkan masyarakat Manggarai Barat.
Mari kita lihat data BPS Manggarai Barat tahun 2009. Dari 49.915 KK penduduk Manggarai Barat, rumah tangga miskin 29.257 KK atau 58,61 persen. Angka kemiskinan ini tersebar di beberapa kecamatan antara lain, Kecamatan Komodo 3.702 KK atau 12,56 persen. Kecamatan Lembor 6.192 KK (21,16 persen), Kecamatan Kuwus 6.573 KK (22,47 persen). Kecamatan Macang Pacar 3.699 KK (12,54 persen) dan Kecamatan Sano Nggoang 3.660 KK (12,51 persen). Sementara Kecamatan Boleng dan Welak masing-masing 2,621 KK (8,96 persen) dan 2.840 KK (9,71 persen).
Potret suram manajemen pariwisata Manggarai Barat di atas, mengerucut pada beberapa pertanyaan kunci, mengapa pesona binatang langka komodo dan beberapa obyek wisata sekitarnya, belum mampu mengerakkan gerbong ekonomi masyarakat Manggarai Barat. Dengan pertanyaan lain, pada titik mana lemahnya manajemen pariwisata Manggarai Barat. Apa yang salah dengan penanganan pariwisata di Manggarai Barat selama ini?
Sejak pemerintahan W. Fidelis Pranda menjabat sebagai Bupati Manggarai Barat, dalan RPJM (Rencana Pembangunan Jangka Menengah) dan RPJP (Rencana Pembangunan Jangka Panjang) menempatkan pariwisata sebagai leading sector pembangunan Manggarai Barat. Artinya apa, semua kegiatan yang dilakukan dari berbagai sektor sedapat mungkin diarahkan untuk mendukung pariwisata Manggarai Barat. Namun semuanya itu hanya indah di atas kertas tanpa mampu berbicara apa-apa. Dengan kata lain, konsep yang indah itu belum mampu membumikan pariwisata Manggarai Barat.  
SDM Rendah, Kering Inovasi, hingga Monopoli Usaha
Lantas, apa akar persoalannya. Pertama mulai dari Sumber Daya Manusia (SDM). Salah satu sebab mengapa sektor pariwisata Manggarai Barat belum maksimal karena SDM yang rendah atau tidak memiliki latar belakang pendidikan pariwisata. Tengok saja komposisi mereka yang duduk di Dinas Budaya dan Pariwisata Manggarai Barat. Saat ini jumlah pegawainya tercatat 49 orang (23 PNS dan 26 honorer). Dari 49 pegawai ini, 23 orang sarjana, diploma 14 orang dan SMA 12 orang. Yang memiliki back ground pariwisata hanya 9 orang (D4 satu orang,  D3 8 orang). Selebihnya (40 orang) dari berbagai jurusan. Komposisi itu rasanya belum berimbang. Padahal, Pemerintah Manggarai Barat saat ini menempatkan pariwisata sebagai leading sector pembangunan ke depan.
Penempatan orang tepat pada tempatnya (on the right man on the right place) rasanya masih menjadi persoalan serius yang perlu dibenahi di Kabupaten Manggarai Barat. Selama ini agaknya pola perekrutan pegawai negeri belum sepenuhnya didasarkan pada keahliaannya. Dan ini tidak hanya terjadi hampir semua  sektor atau dinas.
Nah, bagaimana kita mengharapkan lahirnya inovasi-inovasi baru atau kejutan-kejutan baru dalam kebijakan pariwisata bila orang yang duduk di dalamnya kurang paham dengan pariwisata. Tak heran, karena tidak memiliki back ground maka mereka cenderung melakukan apa yang pernah dilakukan pendahulunya, tanpa adanya suatu terobosan baru dalam mengelolah pariwisata Manggarai Barat. Padahal kebijakan yang dilakukan oleh para pendahulunya itu sudah tidak efektif dan perlu dievaluasi kembali.
Hingga saat ini, kita belum mendengar adanya suatu langkah spektakuler atau upaya-upaya terobosan baru yang inovatif yang dilakukan Pemda Manggarai Barat, dalam hal ini Dinas Pariwisata dalam menggenjot pariwisata di Manggarai Barat. Kebijakan yang ada hampir tidak berubah setiap tahunnya. Jadi, boleh dibilang  kebijakan yang ada kering inovasi. 
Kita boleh jasa bangga manakala bisnis pariwisata tumbuh subur di Manggarai Barat, Khususnya di Kota Labuan Bajo dan sekitarnya. Mulai dari hotel melati hingga hotel berbintang, travel atau biro-biro perjalanan, hingga diving maupun usaha souvenir sebagai cindera mata bagi wisatawan. Menjamurnya pusat-pusat bisnis wisata itu tentu saja mampu menggerakkan roda perekonomian Manggarai Barat dan membuka atau menciptakan lapangan kerja baru.
Namun, apakah itu menetes ke bawah. Artinya, apakah maraknya bisnis pariwisata di Manggarai Barat saat ini, dapat mengangkat status ekonomi masyarakat lokal setempat. Di sini perlu untuk dicermati, apakah para pelaku bisnis pariwisata itu adalah putra daerah, atau malah pendatang. Sejauh ini, kita belum punya data yang akurat status pemilik usaha yang investasi di Manggarai Barat. Bukannya kita ‘alergi’ dengan pendatang, tapi yang dikhawatirkan adalah adanya monopoli usaha di bidang pariwisata oleh pendatang. Mudah-mudahan ini tidak terjadi di Manggarai Barat.
Hal lain yang perlu dicermati, berapa banyak putra daerah atau masyarakat setempat yang bekerja di sektor swasta pariwisata ini. Penulis khawatir, jangan-jangan yang menikmati dan meraup untung dari pariwisata Manggarai Barat saat ini adalah bukan penduduk lokal. Lemahnya manajemen pariwisata kita ini dimanfaatkan kaum kapitalis dari luar Manggarai Barat, untuk memanen dolar.  
Ini perlu diwaspadai. Bila itu yang terjadi, maka hal ini menjadi early warning bagi keberlanjutan pariwisata di Manggarai Barat. Sebab, kaum kapitalis atau pemilik modal pendatang itu, tidak mempunyai ikatan emosional dengan tanah Manggarai Barat. Kepentingan mereka hanya satu, bagaimana mengeksplotasi potensi pariwisatanya dan meraup dolar untuk membangun daerah asalnya.
Solusi ke Depan
Lantas apa yang perlu dibenahi dengan pariwisata Manggarai Barat ke depan. Penulis menawarkan beberapa hal. Pertama, terkait dengan SDM, hal mendesak yang perlu dilakukan pemerintah Manggarai Barat saat ini adalah mengirim putra daerah untuk menimbah ilmu tentang pariwisata di perguruan tinggi terkenal seperti di UGM, UNDIP, Udayana dan beberapa perguruan tingggi lainnya.
Selain itu, barangkali perlu dipikirkan pemda untuk merintis perguruan tinggi  seperti Akedemi Pariwisata di Manggarai Barat. Tenaga pengajarnya bisa saja bermitra dengan beberapa perguruan tadi. Akademi ini dipandang penting untuk mencetak tenaga-tenaga profesional di bidang pariwisata sehingga masalah SDM bisa teratasi. Akademi ini bisa saja dibangun dengan menggunakan anggaran daerah dan bisa menjadi salah satu badan usaha milik daerah.
Kecuali itu, untuk membenahi masalah SDM  dengan melakukan studi banding dengan daerah-daerah lain yang memiliki menajemen pariwisata sudah bagus, seperti Bali atau Lombok. Ikut kursus atau pelatihan, seminar yang berhubungan dengan pariwisata juga cara lain untuk meningkatkan SDM di Dinas Pariwisata. Dengan memahami apa itu pariwisata secara keilmuannya dan rajin berguru pada daerah lain yang berhasil menangani pariwisata maka harapan akan adanya kejutan-kejutan baru atau terobosan baru dalam kebijakan pariwisata akan terbuka lebar.
Kedua, untuk mengantisipasi penguasaan bisnis pariwisata oleh kaum pemilik modal dari luar Manggarai maka yang perlu dilakukan pemerintah Manggarai Barat saat ini adalah menggerakan anak muda di Manggarai Barat sebagai pelaku pariwisata. Pemerintah mendorong dan memfasilitasi putra daerah untuk terjun dalam bisnis pariwisata. Anak muda itu dirangsang agar tumbuh jiwa interpreuner (jiwa usaha) dan diberi kemudahan dalam hal bisnis. Mengapa pilihannya anak muda. Sebab sesungguhnya, masa depan pariwisata Manggarai Barat ada di pundak anak-anak muda yang nota bene putra-putra lokal.
Ketiga, adanya regulasi yang dengan tegas mengatur tentang kegiatan pariwisata di Manggarai Barat. Hal ini untuk mengantisipasi monopoli usaha pariwisata yang tidak menguntungkan masyarakat setempat hingga ‘eksploitasi wisata’ oleh daerah lain terutama kapal-kapal pesiar dari Bali atau Lombok  yang datang ke Pulau Komodo, tanpa menurunkan penumpangnya di Labuan Bajo. Misalnya saja, ada aturan yang mewajibakan semua kapal pesiar yang ingin berkunjung ke Pulau Komodo, wajib menurunkan penumpangnya di Labuan Bajo. Lalu wisatawan itu bisa menggunakan kapal atau perahu nelayan dihantar ke pulau ini. Dengan begitu, hotel atau penginapan yang ada di Labuan bajo akan mendapat untung bila wisatawan tadi memutuskan untuk menginap. Dengan begitu, semakin banyak dolar yang dibelanjakan para wisatawan dan para nelayan mendapat untung karena jasanya dipakai, ketimbang wisatawan itu langsung dihantar ke Pulau Komodo. Sebab, praktis mereka hanya mengeluarkan dolar untuk melihat binatang komodo saja, lalu mereka menginap di Bali atau Lombok. Di sini yang mengais untung adalah adalah orang Bali atau Lombok.
Keempat, satu hal penting yang perlu diperhatikan dalam membangun pariwisata Manggarai Barat adalah aspek lingkungan atau wisata berwawasan ekologis (ekowisata). Artinya, jangan sampai euforia bisnis pariwisata di Manggarai Barat melabrak atau mengabaikan aspek-aspek lingkungan. Misalnya, perubahan bentang lahan di sekitar obyek wisata untuk pembangunan hotel dan losmen, home stay atau restaurant tanpa melalui sebuah kajian AMDAL (Analisis Mengenai dampak Lingkungan) yang matang.
Kita tidak ingin seperti yang terjadi di Bali saat ini, dimana ada kecenderungan lahan sawah yang masih hijau berubah fungsi menjadi vila, hotel, restoran. Padahal salah satu kearifan lokal (local wisdom) yang terkenal di Bali saat ini adalah sistem subaknya (salah satu teknologi tradisional pemakaian air secara efisien  dalam pertanian). Dan ini salah satu daya tarik Pulau Bali di samping tradisi budayanya.
Kelima, pembagian wewenang dalam pengelolaan Taman Nasional Komodo (TNK). Sejauh pengelolaan Tamana nasional Komodo masih otoritas penuh Kementerian Kehutanan. Sementara peran daerah, kalau pun ada, tidak begitu kuat. Artinya, pemegang kendali pengelolaan TNK selama ini adalah Kementerian Kehutanan bukan Pemda Manggarai Barat. Hemat penulis, kebijakan ini perlu ditinjau kembali. Prinsip win-win solution harus di kedepankan dalam pengelolaan TNK. Termasuk di sini perlu diatur dengan jelas, pembagian wewenang (hak dan kewajiban) TNK, lembaga yang digandeng pemerintah untuk mengelola TNK (PT.Putri Naga Komodo) dan Pemda Manggarai Barat.***
            *)Penulis adalah staf PUSKADA (Pusat Studi dan Kajian Kebijakan Daerah)

1 komentar:

  1. Artikel yang menarik tentang gambaran pariwisata nusantara, khususnya pariwisata Taman Nasional Komodo. Kenyataan dimana potensi wisata lokal dikuasai kaum kapitalis luar memang terjadi hampir di semua wilayah di Indonesia. Sepertinya banyak yang harus dibenah dalam kepariwisataan Indonesia, khususnya pariwisata TNK. Artikel ini memperkaya pengetahuan saya yang akan melakukan riset mengenai pariwisata Taman Nasional Komodo. Terima kasih..

    BalasHapus