Jumat, 27 Mei 2011

Penetapan Tapal Batas Kawasan Hutan Lindung, Mengabaikan Hak Adat



Penetapan tapal batas untuk kawasan hutan lindung yang di selenggarakan pemerintah  melalui Dinas Kehutanan Kabupaten Ende, belum lama ini, sangat riskan karena  tidak melalui prosedur hukum yang berlaku, termasuk  melangkahi hak-hak masyarakat adat setempat. Sasaran pemasangan pilar, terdapat pada tiga Desa, yaitu Desa Nabe, Desa Kobaleba dan Desa Magekapa. Dari ketiga wilayah pemerintah desa  ini, mempunyai hak persekutuan adatnya masing-masing, dengan 12 orang mosalaki.
Demikian penjelasan para tokoh mosalaki, ketika di temui Flores File di gedung DPRD, belum lama ini. Menurut mareka, yang mestinya dilihat lebih jauh oleh Dinas terkait sebelum melakukan pemasangan pilar di kawasan tersebut, yang harus dilakukan adalah pendekatan sosial budaya. Bukan dengan serta merta, tanpa suatu kajian yang jelas. Kendatipun kewenangan terhadap hutan ada di tangan pemerintah, namun adat dengan hak turun temurunya mempunyai kewenangan dengan batas-batas wilayah tertorialnya  yang dihormati dan dijunjung tinggi  oleh masyarakat setempat, yang di sebut hukum adat.
Menurut mosalaki Ria Bewa, Daniel Da dan mosalaki Ria, Yakobus Kako,  mengatakan, hak mereka sudah dilecehkan oleh lembaga pemerintah.  Program-program semacam itu, sebenarnya harus dengan suatu pendekatan budaya terlebih dahulu, atau sosialisasi antara pemerintah dan penguasa adat. Kalau pemerintah mempunyai kepedulian untuk menghargai adat,  bukan  dengan sewenang-wenang.  Kebijakan yang diambil tanpa sepengetahuan masyarakat adat, maka akan ditindak dengan hukum adat dan roh nenek moyang akan beserta di dalamnya.
“Suatu hal yang sangat disesalkan adalah penempatan pilar-pilar batas hutan lindung, tanpa dengan suatu sosialisasi terhadap kami sebagai pemangku adat. Pendekatan tidak dilakukan,  kalau dalam versi adat disebut perampasan hak tanah (pi singi rate rai). Kami harapkan pemerintah harus segera meninjau kembali, agar tidak terjadi hal-hal yang meresahkan, pilar yang sudah dipasang, harus di cabut dan diletakan kembali pada tempat yang sudah di tetapkan sebagai kawasan hutan lindung,” tegas mareka.
Kedua tokoh adat ini menambahkan, berkaitan dengan kawasan hutan lindung sudah ada tempatnya, dan sejak jaman Belanda, yaitu, di Ame Angi, Mbotu Manu Lela, dan Mbotu Nita. “Kalau sekarang pemerintah menetapkan tapal batas yang baru,  maka dasarnya apa? Dan kapan penyerahan dari kami mosalaki, sebagai penguasa  hak ulayat. Kemudian pertanyaan lanjutannya, pengeloalan sumber daya alam untuk lahan pertaniannya dimana? Kalau luas lahan di persempit, sementara pemerintah sendiri mencanangkan agar sektor pertanian harus ditingkatkan untuk kesejahteraan kami masyarakat, ini membingungkan sekali,”kata mareka kesal.
Mereka juga mendukung tindakan yang di ambil oleh pemerintah dalam penetapan tapal batas hutan sebagai domein Negara, namun dalam proses pelaksanaannya tidak boleh melangkahi kebiasaan-kebiasaan yang sudah merupakan landasan religius dalam tindakan adat. Secara histories di lihat dari eksistensinya  sebelum Negara ini hadir dan memerdekaan dari Kolonial Belanda tahun 1945, keberadaan adat sudah ada dengan  kompleksitas aturannya yang beraneka ragam, termasuk kaidah-kaidah adat untuk membangun kesejeteraan (ana kalo fai walu)  masyarakat adatnya. Sehingga berbicara konteks pembangunan, maka perlu ada sinergis antara pemerintah sebagai yang mewakili Negara dengan penguasa adat setempat.
Kata mereka, eksistensi adat bukan dengan sendirinya ada, melainkan dengan suatu perjuangan atau pengorbanan jiwa dan raga serta material lainnya oleh nenek moyang terdahulu. Hal ini telah diakui sejak turun temurun sehingga tanah-tanah adat mempunyai nilai sakral yang ditakuti atau dijunjung tinggi oleh kelompok adat tersebut. Lanjut kedua tokoh ini, berkaitan dengan loyalitas terhadap adat, bukan saja masyarakat dalam wilayah territorial adatnya, melainkan pihak manapun yang punya kepentingan untuk bersentuhan dengan tanah, maka ia harus tunduk dan taat pada kaidah adat itu. Siapupun dia, baik pemerintah atau pihak lain, dengan sendirinya harus taat pada nilai-nilai adat yang sedang berlaku.
Kebiasaan adat tidak dapat di lunakan dengan berbagai perkembangan teknologi lainya, karena adat mempounyai ciri khas khusus, yang tidak bisa hilang dan berlaku dengan diwariskan kepada anak cucu, kata kedua tokoh adat tersebut. Apabila terjadi suatu hal yang mau mengabaikan adat, maka akan  terjadi kutukan alam.  “Ini sudah menjadi keyakinan yang memang benar-benar terjadi, sehingga para penguasa adat pun mempunyai ketakutan kalau mareka tidak bertindak atas pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh pihak lain. Dalam konteks adat, dianggap atau di nilai (turu talo kana mona) tidak bisa bertanggung jawab atas warisan nenek moyang atau leluhur yang telah membudaya dan  mengakar dalam sejarah kehidupan, “urai kedua tokoh adat ini.
Dalam regulasi sekarang (ius konstitutum) sudah jelas-jelas mengamanatkan, selama hak ulayat itu secara factual masih tetap ada dan berlaku, maka Negara punya kewajiban untuk mengakui dan melindungi keberadaan budaya adat tersebut sebagai unsur budaya Nasional. Menurut mereka, memang ada beberapa subyek hukum yang menguasai atas tanah, yaitu Negara dan termasuk juga persekutuan adat, pemerintah sebagai representasi Negara tidak dengan serta merta melakukan perbuatan hukum tanpa sepengetahuan adat. Selama Negara masih mengakui adat, pemerintah tidak bisa melakukan intervensi terhadap apa yang menjadi tanggung jawab adat dalam wilayah kekuasaannya. Hak penguasaan Negara terhadap tanah merupakan hak tertinggi, namun pada tataran pelaksanaanya tetap menghargai hak-hak adat sebagai hak komunal untuk melakuan perbuatan hukum adat sepanjang adat itu masih ada dan berlaku. Walaupun proses penetapan oleh pemerintah, untuk kepentingan dan kebutuhan masyarakat  umum,  namun tidak berarti adat itu di  sepelehkan karena kedua subyek hukum mempunyai hak dan kewenangan yang sama terhadap wilayah territorial. Pemanfaatannya juga sama, yaitu untuk kesejateraan masyarakat menurut versi Negara dan untuk anakalo fai walu menurut versi adat, sehingga kerja sama antara kedua lembaga ini penting, agar tidak kontradiksi dalam proses pembangunan.
Sedangkan anggota DPRD Ende dari Dapil 4 (empat), Yulius Rada, mengatakan, kebijakan atau program seperti apapun tidak boleh melangkahi kewenangan adat, karena kalau sampai pada melangkahi hak dan kekuasaan adat, maka program yang sudah di menets secara baikpun bakalan mubazir. Menurutnya, tidak terlalu sulit kalau pemerintah, tokoh adat, tokoh agama duduk bersama-sama saling membicarakan untuk memulai sebuah pembangunan. Karena ketiga tungku tersebut, punya sasaran yang sama hanya beda versi yaitu: pemerintah dengan rakyatnya, penguasa adat dengan (ana kalo fai walu) penggarapnya, agama dengan umatnya, kesemuaannya itu tertuju pada bagaimana kehidupan manusia akan sejahtera, sehingga kalau di bicarakan secara baik apapun beratnya akan temukan solusi penyelesaiannya.
Yulius yang juga sebagai anak adat mengatakan,  sebagai awal dari  program itu  pemerintah harus mulai dengan sebuah pendekatan, sehingga pada  moment tersebut pemerintah bisa menemukan sendiri apa kata masyarakat terhadap program yang dicanangkan itu, apa itu bersifat responsif atau tidak. Apakah itu memang sebuah kebutuhan yang sedang diprioritaskan, ataukah masih ada kebutuhan lain yang sangat urgen, semuanya itu tergantung pada pendekatan dan kalau masyarakatnya sepakat maka konstruksi hukumnya harus di buat secara jelas dengan tidak mengabaikan nilai nilai yang terkandung dalam hukum adat.
Maximus Deki anggota DPRD dari Komisi A, mengatakan, apa yang terjadi masa lalu mungkin sedikit keliru, mulai dari prosedur awalnya, sampai pada penetapan bahkan Maksi balik bertanya, kalau semua lahan di jadikan kawasan hutan lindung maka lahan garap masyarakat untuk kebutuhan pertaniannya dimana? Apa itu sesuai dengan konsep pembangunan Nasional atau tidak? Negara mestinya melindungi dan memajukan kesejahteraan masyarakat, ini amanat UUD 1945. Apakah masyarakat merasa sejahtera kalau sumber daya alam yang menjadi potensi pertaniannya di persempit. Menurutnya, salah satu keunggulan masyarakat desa dari aspek penghasilan yaitu dari sektor pertanian dan perkebunan. Luas lahan  menjadi ukuran bagi petani dalam kelangsungan hidupnya dan salah satu indikator terjadi kemiskinan, yakni terbatasnya sumber daya alam. Sementara pemerintah pusat sekarang sedang mencanangkan program pemberdayaan masyarakat desa, salah satu sasaranya masyarakat petani. Tetapi kalau masyarakatnya tidak punya lahan, maka program itu menjadi sia-sia. Lalu apa arti banyaknya hutan kalau kehidupan masyarakatnya miskin, “oleh karena itu sebagai waikil rakyat, saya minta kembalikan hak rakyat, apa yang menjadi haknya,”katanya.
Selain Yulius Rada, Efraim B. Ngaga sebagai anggota  DPRD Ende dari Dapil 4 mengatakan, alokasi kawasan hutan lindung untuk Kabupaten Ende sudah melebihi target. Katanya, lahan yang sudah di serahkan oleh masyarakat sudah mencapai 38 persen,  sehingga standar dari amanat undang-undang, untuk Kabupaten Ende sudah melebihi sampai dengan 8 persen. “Oleh karena itu saya minta tapal batas harus di tinjau kembali dan pilar yang sudah dipasang harus dicabut dan dialihkan ketempat semula, yaitu di kawasan hutan lindung  yang keberadaannya sejak dari jaman Belanda,”tandasnya.
Lanjut Efraim, konsep kebutuhan masyarakat desa, tidak akan terlepas dengan sumber daya alam, karena SDA menjadi modal utama untuk pengembangan usaha di dunia pertania dan perkebunan, salah satunya lahan garapan. “Nah, kalau lahan garapannya di persempit maka pengembangan masyarakat di dunia pertanian dan perkebunan menggunakan apa, lalu bagaimana dengan kebutuhan keseharian mareka,”jelasnya. Dia juga menambahkan, keterbatasan sumber daya alam, seperti lahan garapan menjadi sumber penyabab kemiskinan. Jadi pada hakikatnya tidak boleh membuat program yang memiskinkan masyarakat.
Efraim juga melihat, kalau acuan adalah SK Menteri, itu bisa ditinjau kembali, selama masih memerlukan untuk dilakukan perbaikan-perbaikan. Lagi pula SK Menteri bukan menjadi salah satu sumber hukum formal. “Kita lihat dalam sisitim tata urutan hirarkis peraturan perundang-undangan, baik SK Menteri ataupun peraturan-peraturan Menteri tidak masuk menjadi sumber hukum formal,”jelas jebolan serjana filsafat ini.  Lanjutnya,  demi kebutuhan dan kepentingan masyarakat,  sekalipun UU, harus di amandemen, ingat asas salus populi suprema lex penyelamatan masyarakat merupakan hukum yang paling tinggi.
Sementara itu, Vitalis Lio Kepala Seksi Aneka Usaha Kehutanan pada Dinas Kehutanan Ende, mengatakan, kawasan itu dikategorikan sebagai kawasan hutan produksi dan sebagai dasar yuridisnya  SK Menteri Kehutanan, yang di buat dengan sistem bottom up yaitu  pendekatan dan sosialisasi menjadi prioritas pertama, sebelum batas-batas kawasan itu di tetapkan. SK Menteri bukan hanya dengan suatu penunjukan tetapi sampai pada penetapan. Sehingga kalau sudah ada penetapan, maka sudah menjadi kekuatan hukum tetap dan berlaku serta mengikat bagi siapa saja, untuk tidak boleh melakukan aktivitas dalam batas-batas yang sudah di regulasikan. “Kalau stetmen masyarakat bahwa penetapan tapal batas itu belum dilalui dengan sebuah prosedur, itu tidak  mungkin seingat saya, prosedur seperti itu sudah kami lewati, mulai dengan pendekatan, sosialisasi, dengan tidak mengurangi aturan-aturan adat setempat,”jelasnya.
Menurutnya, pilar-pilar yang dipasang itu, bukan di tengah-tengah kebunnya masyarakat, melainkan tepat dipinggir kawasan hutan yang menjadi batasan antara hutan lindung dan lahan garapan masyarakat. Untuk itu,  penetapan tapal batas  sudah menjadi bangunan hukum, sehingga untuk mengalihkan bukan hanya asal cabut, tapi dengan sebuah prosedur, tentunya mekanisme hukum menjadi sebuah rujukan.
Dia juga menambahkan, UU No 41 tahun 1999, sudah menjadi target Nasional dengan mengedepankan luas kawasan hutan yang harus dipertahankan, minimal 30 persen dari luas DAS, atau pulau dengan sebaran proporsional. Artinya, satu pulau kawasan hutan harus dialokasikan sesuai dengan luas yang ditarget oleh regulasi, yakni, 30 persen lahan yang di siapkan untuk Negara demi kepentingan masyarakat.  “Ini amanat Undang-Undang yang  bermanfaat bagi lingkungan, sosial dan ekonomi. Bagi lingkungan, manfaatnya untuk masyarakat  itu sendiri, yaitu agar tidak terjadi bencana alam atau tanah longsor yang menjadi sumber pengendalian panas global Nasional dan internasional. Kemudian dari aspek sosialnya, masyarakat bisa membuat seremonial adat di kawasan tesebut, termasuk daerah pariwisata dengan seijin pemerintah. Sedangkan dari aspek ekonominya, masyarakat bisa melakukan budidaya obat-obatan, jamur, budi daya leba dan lain sebagainya, yang diperuntukan kepada masyarakat sendiri. ****
Ditulis oleh: Don

Tidak ada komentar:

Posting Komentar