Jumat, 27 Mei 2011

Muscab Partai Hanura Ende Gagal, Tensi Konflik Semakin Tajam



 Foto : Ketua DPD Partai Hanura NTT,  Jimi Sianto

 
Konstelasi politik yang terjadi di tingkat Dewan pimpinan cabang (DPC) Partai Hanura Kabupaten Ende semakin hari semakin memanas. Partai yang berhati nurani ini pada akhirnya  dijebak dengan keadaan konflik, sehingga sampai dengan saat ini para kader partai dan pengurusnya, yang sejak awal, berangkat dengan sepirit solidaritas kolektif kolegial, namun dalam proses perjalanannya yang belum begitu lama, sudah terjadi ketidakharmonisan dengan tensi konflik politik yang tinggi, alias perebutan kedudukan dan kekuasaan. Hal ini terjadi akibat dari dagelan Musyawarah Cabang (Muscab) yang di akhiri dengan deadlock belum lama ini,  di Hotel Grand Wisata, jalan Kelimutu Ende.
Menurut Ahmad Hamid H. Hasan, sebagai kader partai, kepada Flores File, di kediamannya, akhir Maret lalu, mengatakan, sebelum deadlock pengurus lama sudah didemiosener sehingga secara yuridis terjadi kekosongan (kevakuman) kepengurusan. Artinya,  kepengurusan DPC lama sudah berakhir dan dalam situasi itu dianggap sudah tidak ada lagi kepengurusan, sambil menunggu terpilihnya DPC yang baru  dalam forum Muscab. Kemudian prespektif hukum soal deadlock  menujukan bahwa rangkaian  peristiwa forum musyarawah cabang, dianggap gagal, yang tidak bisa di lanjutkan dalam situasi dan kondisi yang sama. Evektivitas partai tidak bisa dilaksanakan oleh siapapun, kecuali ada penunjukan karakteker dari  Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Provinsi NTT.
Lanjut Ahmad Hamid, kendatipun Geldimus Ema Rayrego pada saat itu mendapat mandat politik sebagai ketua partai, namun ketika Muscabnya gagal, maka dianggap tidak pernah ada. Muscab bukan hanya dilihat pada berakhirnya agenda pemilihan ketua, tapi masih banyak agenda-agenda lainya yang merupakan keseluruhan dari  beberapa rangkaian peristiwa yang ada di dalamnya, termasuk  acara pemilihan ketua dan pembentukan tiem formatur. “Apabila salah satu acaranya gagal atau deadlock berarti yang dilihat, bukan hanya gagal per acara melainkan secara universal Muscabnya gagal. Sehingga musyawarah cabang perlu dilakukan kembali (Muscab ulang), dengan tahapan rekonsiliasi oleh pengurus setingkat lebih tinggi, yaitu DPD untuk melakukan pembenahan ke dalam, dengan penujukan karateker, sambil rangkaian peristiwa kegagalan atau kronologis kejadiannya dilaporkan untuk  di pleno,”jelas Hamid Hasan ini.
Kata Hamid, sebelum ada keputusan karateker dari DPD dalam interval waktu tersebut, pengurus dan kader partai kabupaten,  tidak boleh melaksanakan kegiatan-kegiatan partai. Apabila melakukan kegiatan  partai, maka itu illegal dan melanggar konstitusi anggaran dasar dan anggaran rumah tangga partai. Sekalipun  lembaga partai yang lebih tinggi memberikan kewenangan sebelum penujukan karateker, maka itu inkonstitusional  dan dianggap pengkianat konstitusi partai.
“ Ya, memang sangat aneh dan arogan, kalau Geldimus Ema dan pengurusnya kembali diberi kewenangan oleh Dewam Pimpinan Daerah (DPD) untuk melaksanakan tugas harian partai. Dan sangat tidak layak kalau ketua DPD Jimmi Sianto mengatakan bahwa kepengurusan DPC Hanura Ende sudah tidak di persoalkan lagi seperti yang dilansir oleh salah satu media lokal pada awal April lalu.  Artinya DPD mau menutupi kegagalan forum Muscab baru-baru ini. Seolah-olah Muscab tidak  pernah gagal,”tegas Hamid.
Hamid juga menegaskan, bahwa ketika tiem formaturnya gagal dibentuk, maka Muscab pun dianggap gagal. Karena itu, harus dilakukan Muscab ulang, pembentukan tiem formatur, menjadi satu bagian dengan forum Muscab, bukan tiem formaturnya menjadi bagian tersendiri, terlepas dengan rangkaian kegiatan Muscab, itu penafsiran konstitusi partai yang keliru.
Penafsiran yang sesuai dengan regulasi adalah, DPD harus memahami terlebih dahulu bahwa Musbanya gagal, sehingga penjabaran kebawahnya tidak salah. Kemudian dalam rangka mengamankan situasi, maka diperlukan SK penunjukan karakteker.  Ketika stabilitas keadaan sudah menjadi kondusif, maka proses Muscabnya akan dilakukan ulang.  Kalau punya kemauan  untuk mengamankan amanat konstitusi partai yang sudah menjadi consensus politik Nasional, sehingga tidak dilakukan  dengan sewenang-wenang terhadap sebuah proses demokrasi, hal ini boleh dibilang pengkianatan terhadap procedural konstitusi.
Ahmad Hasan yang juga sebagai Ketua Pengurus Anak Cabang (PAC) Ende Selatan ini, menambahkan, kiranya Dewan Pimpinan Daerah melihat ini sebagai angin segar ketika menghadapi permasalahan. Namun sebaliknya, yang terjadi bukan mengurangi permasalahan, tapi menambah konflik yang sangat merugikan kader-kader partai yang progresif militansi, kredibel dan akuntabel. DPD hanya melihat kepentingan sesaat, tidak mau melihat lebih jauh soal kepentingan partai yang akan datang. Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah tangga (AD/ART) sebagai alat pengelolaan partai tidak boleh di lecehkan dengan kekuasaan. Karena kekuasaan tidak akan  menjamin perseteruan itu dapat berakhir. Perilaku politik yang sangat destruktif akan membawa malapetaka bagi pengembangan  partai. Tindakan DPD seharusnya menjadi magnet politik yang sangat kuat untuk merangkul kader-kadernya yang bermasalah dan menjadi satu pengabdian untuk mengejar prestasi politik, baik internal maupun secara eksternal.
Sedangkan Hendrikus Suna, salah satu kader Hanura, tidak segan-segan juga mengatakan, kedudukan dan kuasa dalam politik bukan berarti mengangkangi nilai dan semangat demokrasi. Karena demokrasi merupakan landasan utama dari semua siklus politik termasuk berorganisasi. Dalam demokrasi pasti ada kebijakan yang arif dengan tidak merugikan yang lain, bahkan yang diutamakan adalah musyawarah sebagai solusi final untuk mengakhiri sebuah masalah. Instrument dari demokrasi salah satunya adalah regulasi. Regulasi sebagai penjabaran dari demokrasi, paling tidak Negara dan organ-organ perlengkapannya mesti menjunjung tinggi, temasuk dalam berpartai politik. Platform yang merupakan regulasi partai harus di taati dan dijunjung tinggi oleh kader-kadernya.  Sebab dalam regulasi partai, ada garis- garis politik yang merupakan idologi dasar perjuangan partai, termasuk media penyelesaian masalah.
Menurutnya, sebagai institusi politik dalam proses perjalanananya, tidak akan terhindar dari kompetisi dan konflik. Itu sudah budaya dan menjadi habitus  politik yang sudah lama. Namun, sebagaimanapun konflik dan kompetisi bukan menjadi solusi terakhir perjalanan politik di partai. Melainkan itu hanya sebatas dinamika politik untuk melahirkan kadar-kader partai yang dewasa dalam berpikir, berkemampuan tinggi, militansi,  kredibel dan akuntabel. “Inilah konflik yang demokratik dan konstruktif bagi pengembangan partai, bukan melahirkan perpecahan yang secara interen berdampak pada evektivitas partai dalam pengembangan dan pelembagaan,”jelas Suna kritis.
Hendrik menambahkan, sebelum masuk pada tataran eksen di mata publik, langkah pertama pembenahan kedalam, jika itu belum di  luruskan maka sangat berdampak pada kerja-kerja partai kedepan. Kalau internalnya sudah di menets secara bagus, maka kiprah eksteren partai akan membaik. Sehingga semakin sehatnya organisasi internal partai, maka semakin meningkatnya kepercayaaan public. Secara umum survey menujukan citra publik partai-partai politik di Indonesia, dinilai belum optimal dalam menjalankan tugas dan fungsinnya karena mereka  masih sibuk dengan urusan internal partai. Sementara kehadiran partai di bumi pertiwi ini, bukan hanya mendesain soal internal, melainkan punya kewajiban besar yang bersumber pada regulasi untuk mengurus soal kepentingan-kepentingan  publik termasuk bermitra dengan  pemerintah, sambil mengarahkan berbagai persoalan agar proses  penyelenggaraan Negara dapat berjalan baik sesuai dengan nilai luhur pancasila, yang  pada titik akhirnya mewujudkan kesejahteraan masyarakat bangsa Indonesia.
Katanya, ini adalah garis-garis perjuangan politik partai yang berkiprah secara interen dan ekstern dengan  menjunjung tinggi nilai sportifitas (fair play) dalam mengelolah, dan tidak konservatif dalam memimpin, serta mengantongi demokrasi adalah solusi yang tepat dan   menjamin bagi  kelangsungan politik dalam berorganisasi. Konfigurasi politik yang  demokrasi akan  melahirkan konstelasi kehidupan yang harmonis, kondusif meskipun dalam demokrasi ada konflik dan kompetisi. Berbeda halnya dengan konfigurasi politik yang konservatif, itu akan menghasilkan prodak kekuasaan yang ortodoks yang melihat konflik dan kompetisi hanya sebagai peluang untuk memperluas persoalan dan sebagai instrument untuk merebut kekuasaan, dengan gaya politik seperti ini sebagaimanapun akan melahirkan sebuah kepemimpinan yang bergaya otoriter.
Sementara itu, Gasim Sumbi, salah satu simpatisan Partai Hanura mengatakan, sejak Muscab Partai Hanura dinyatakan deadlock atau gagal dan hingga saat ini lembaga yang berkompeten seperti DPD belum mengeluarkan suatu keputusan yang bijak yang dapat merangkul semua kader untuk bersatu dengan nuansa kolektif kolegial. Kalau menurut DPD bahwa DPC Hanura Ende kepengurusannya sudah tidak dipersoalkan lagi, dalam arti sudah hormonis, namun mengapa sebagian kader dalam berbagai media mengatakan kepengurusan yang dilegitimasi oleh DPD tersebut dianggap inkonstitusional. Artinya masih ada pro dan kontra yang  tidak mau mengakui eksistensi dari kepengurusan Hanura yang oleh DPD di anggap sudah layak.
“Jadi, sebagai simpatisan dan sebagai masyarakat, saya harapkan agar keputusan yang diambil   harus bijak, dengan tidak mengesampingkan asas keseimbangan dan kecermatan, agar berdampak positip bagi partai, baik secara internal, maupun secara eksternal. Dampak eksternalnya, selain berkaitan dengan citra partai dimata publik,  sangat berkaitan juga dengan dampak sosial lainya. Karena saya yakin, setiap kader mempunyai masa pendukungnya masing-masing. Dalam kondisi tertentu, dengan karakter dan  emosional yang berbeda, bisa terjadi suatu hal yang kita sama-sama tidak inginkan. Oleh karena itu, pihak yang berkompeten harus mempertimbangkan secara adil, sebelum menjatuhkan palu terakhir, ”jelas Sumbi. ****
Oleh: Don

Tidak ada komentar:

Posting Komentar