Jumat, 08 April 2011

Bersahabat Dengan Lingkungan Meminimalisir Bencana Alam


Oleh: Silvester Nusa  *)
 
SAAT menulis artikel ini, beberapa stasiun televisi nasional memberitakan kejadian bencana banjir dan tanah longsor di Jawa Tengah dan sejumlah daerah lainnya termasuk di Australia. Sementara di kampungku saat itu hujan lebat. Warga kampung tak berani keluar rumah. Saya termangu ketika  melihat halaman rumah digenangi air. Kawangku berguman, “kali ini kita bisa terancam gagal panen karena hujan yang berlebihan. Tanaman jagung dan padi banyak yang membusuk dan banyak benih yang tidak tumbuh”. Lalu, temanku menghidupkan musik dari handphone-nya. Lagu Berita Kepada Kawan ciptaan  Ebiet G.Ade mengalun. “Barangkali di sana ada jawabnya, mengapa di tanahku terjadi bencana….”Lagu yang popular sekitar 30 tahun lalu itu seolah mengingatkan kita tentang bencana gas beracun dari kawah Sinila di dataran tinggi Dieng, Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah tahun 1979. Lagu ini diawali dengan lirik “Perjalanan ini terasa sangat menyedihkan,sayang engkau tak duduk di sampingku kawan….”. Lagu yang termuat di album kedua Ebiet tersebut menggambarkan tentang suasana bathinnya tatkala melihat bencana yang terjadi menewaskan lebih dari seratus orang. Kebetulan Ebiet berasal dari Wonodadi-Banjarnegara. Setiap lagu ciptaan Ebiet selalu terinspirasi oleh tragedy manusia di pentas kehidupan alam raya termasuk dengan lagunya yang lain berjudul “Untuk Kita Renungkan”. Lagu ini diciptakannya saat terjadi letusan Gunung Galunggung di Jawa Barat tahun 1982. Kemudian ia menggubah lagi sebuah lagu berjudul “Masih Ada Waktu” tahun 1988 sesaat terjadinya peristiwa tabrakan Kereta Api Bintaro. Belakangan ada sebuah lagu yang liriknya saya ingat adalah “mungkin Tuhan mulai bosan melihat tingkah kita yang selalu salah dan bangga dengan dosa-dosa kembali singgah di telinga”. Lagu-lagu Ebiet menjadi pelajaran berharga untuk kita umat manusia. Tapi,apakah bangsa ini mau belajar pada pengalaman yang terjadi di depan mata? Untuk urusan yang satu ini sebaiknya kita tanyakan pada rumput yang bergoyang….
Lagu Ebiet dan hujan lebat serta berita bencana di televisi menginspirasiku untuk mulai meramu artikel ini. Saya teringat bencana besar di Aceh, Yogyakarta, Alor, Nabire, Gunung Merapi, Gunung Bromo dan sebagainya. Pernahkah diantara kita yang mendambakan bencana alam? Setiap orang pasti selalu mendambakan hal-hal yang baik saja dalam hidupnya. Dalam setiap doa pun tak pernah ada satu kata atau kalimat pun yang meminta kepada Tuhan untuk memberikan cobaan atau bencana alam. Bahkan dalam Doa Bapa Kami yang diajarkan oleh Yesus sendiri kepada para rasul-Nya, dalam salah satu kalimat berbunyi; “…….dan jangan masukan kami ke dalam pencobaan…….”. Artinya, manusia benar sangat takut terhadap setiap cobaan termasuk bencana. Lalu, pertanyaannya adalah bagaimana sikap manusia bila bencana yang ditakutkan itu datang? Tidur, lari, pura-pura tidak tau alias masa bodoh, atau…..??? Di tikungan pertanyaan inilah butuh kesadaran penuh dan sikap tegas dari setiap makhluk hidup yang namanya manusia. Apa tanggapan atau reaksi manusia. Beragam pertanyaan yang menuntut sikap tegas itulah yang mendorong penulis untuk menurunkan gagasan atau cara pandang yang layak untuk didiskusikan mengenai perlunya kita bersahabat dengan lingkungan alam guna meminimalisir bencana alam.
Sebelum space halaman media ini terisi oleh banyaknya pokok pikiran terkait persahabatan manusia dengan lingkungan alam, alangkah baiknya kita memeriksa diri kita (introspeksi) ke dalam diri negeri Indonesia ini. Seperti apa bentuk dan seberapa besar potensi sumber daya bencana di Indonesia. Di samping itu, kita diajak untuk berkaca pada sejumlah peristiwa bencana yang pernah terjadi di tanah air termasuk yang baru saja terjadi belakangan yakni peristiwa bencana alam tsunami di Kabupaten Kepulauan Mentawai pada Senin, 25 Oktober 2010 pkl 21.40 wib dan letusan Gunung Merapi di Jawa Tengah. Di samping itu, kita perlu mengingat kembali pengalaman pilu ketika terjadinya gempa bumi Flores tahun 1992, gempa bumi Alor pada 12 November 2004, gempa bumi Nabire di Papua pada 24 Desember 2004, gempa bumi dan tsunami di Banda Aceh pada tanggal 26 Desember 2004 serta gempa bumi Yogyakarta tahun 2008 silam. Berdasarkan catatan dari jaringan seismic dunia, diantaranya yang tersimpul di United States Geological Survey (USGS) bahwa gempa bumi dan gelombang tsunami Aceh adalah yang terbesar di sepanjang sejarah hidup umat manusia. Selain menimbulkan getaran yang kuat, gempa dan tsunami Aceh mengakibatkan timbulnya deformasi vertical di sumber gempa. Deformasi berupa penurunan permukaan dasar laut menyebabkan penjalaran energy kinetik menjadi gelombang tsunami di pantai. Daerah yang rawan tsunami biasanya daerah yang berpantai landai dan berupa teluk. Pada daerah teluk, energi gelombang terperangkap hingga naik ke darat. Dari setiap bencana atau kejadian selalu menyisakan kisah duka dan aneka pengalaman pahit yang bisa dijadikan sebagai pelajaran bagi umat manusia agar tidak lagi merusak alam ciptaan Tuhan yang maha indah ini.

            Potensi Bencana
Sejak jaman kolonial, Indonesia menjadi incaran bangsa barat untuk mengeruk berbagai potensi sumber daya alam (SDA). Kekayaan SDA seperti cengkeh dan lain-lain menjadi pemicu timbulnya konflik antar bangsa hingga menimbulkan jatuhnya jutan nyawa manusia. Sejak jaman itu pula, baik bangsa pribumi maupun bangsa barat tak pernah memperhitungkan bahwa di balik kekayaan alam tersebut ternyata juga menyimpan potensi bencana alam yang sangat besar. Hal ini didasari oleh keadaan wajah bumi Indonesia yang umumnya berbukitan, bergunung-gunung dan kepulauan. Konfigurasi wilayah semacam ini memang semakin mempercantik keindahan alam Indonesia yang pada akhirnya menarik simpati para wisatawan mancanegara untuk ‘menggerayangi’ kulit bumi Indonesia yang elok dan rupawan. Kini, sebagaimana catatan terakhir dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana Republik Indonesia (BNBP RI) sebagaimana diwartawan Harian Kompas edisi Jumat, 5 November 2010 bahwa dari 456 kabupaten/kota yang ada di Indonesia, ternyata 119 kabupaten/kota diantaranya berkategori sebagai daerah dengan potensi kerawanan tinggi erosi, 147 kabupaten/kota berkerawanan tinggi banjir, dan 213 kabupaten/kota berkerawanan tinggi gempa. Selanjutnya, terdapat 110 kabupaten/kota berkerawanan tinggi gunung api, 149 kabupaten/kota berkerawanan tinggi kekeringan, 154 kabupaten/kota berkerawanan tinggi longsor, dan 83 kabupaten/kota berkerawanan tinggi tsunami. Berdasarkan sejumlah data statistik kerawanan tersebut, kita pun bisa membayangkan seperti apa jadinya kalau semua potensi kerawanan itu bekerja seketika. Mungkinkah itu yang namanya kiamat? Atau dengan mengetahui statistik data kerawanan tersebut, semakin takutkah kita terhadap bencana? Jika takut maka segeralah meninggalkan Indonesia tapi bila tidak takut maka saatnya kita mengenali lingkungan alam kita. Cintailah lingkungan sekitar, ajaklah ia (lingkungan-red) untuk berbicara. Seperti apa maunya lingkungan alam yang ada di sekitar kita.
Menurut BNPB, Indonesia berada di pertemuan tiga lempeng benua yang terus bergerak yaitu Lempeng Eurasia, Indo-Australia dan Pasifik. Menurut Deputi Ilmu Kebumian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Hery Harjono, bertemunya ketiga lempeng dengan kecepatan gerak yang kurang berimbang menyebabkan lempeng Indo-Australia bertumbukan dengan Lempeng Eurasia di barat Sumatera hingga Selatan Jawa dan Bali dengan kecepatan geser 7 cm setiap tahunnya. Sementara itu Lempeng Pasifik bergerak dengan kecepatan 11 cm per tahunnya. Lempeng Pasifik ini selalu bertumbukan dengan Lempeng Indo-Australia yang berkecepatan 7 cm di sekitar Papua. Keadaan tersebut akan semakin berpengaruh lagi bila didorong oleh magma dari perut bumi yang bisa memicu aktifitas geologis, vulkanis dan tektonik yang semakin kompleks dirasakan oleh umat manusia yang mendiami permukaan kulit bumi.
Kita bisa merenungkan peristiwa demi peristiwa bencana yang sering kita alami. Kita diajak untuk tidak terlena mengeksploitasi kulit dan perut bumi karena di balik kesuburan dan kekayaan alam Indonesia ada potensi bencana yang maha besar. Kesuburan tanah Indonesia merupakan hasil perubahan kimia dari magma panas yang disemburkan oleh letusan Gunung Krakatau pada tahun 1883 yang berkekuatan 13.000 kali lebih dahsyat daripada bom Hiroshima di Jepang tahun 1945, gempa berkekuatan 8,9 Skala Richter (SR) di Nanggroe Aceh Darusalam (NAD) pada 2004 silam yang mengakibatkan tsunami sehingga menewaskan ratusan ribu nyawa. Suatu hal terpenting yang patut diingat adalah proses vulkanik yang yang mahadahsyat pada 74.000 tahun silam yang membentuk Danau Toba di Sumatera Utara. Berbagai fenomena dan kejadian alam inilah seyogyanya mendorong kita untuk lebih sadar tentang pentingnya memuliakan Tuhan melalui beragam sikap dan cara kita melestarikan bumi.

            Kesadaran Manusia
Kesadaran bukan hanya dibutuhkan oleh mereka yang mejadi korban gempa dan gelombang tsunami atau letusan gunung api. Kesadaran berlaku bagi semua orang yang akan berangkat ke setiap daerah yang rawan bencana termasuk Pulau Flores ini. Masyarakat yang mendiami Nusa Nipa ini harus selalu siap dan waspada terhadap setiap ancaman yang akan dihadapi. Namun, jika sikap itu harus disertai dengan pemahaman yang benar termasuk tentang tata cara penyelamatan saat terjadi bencana atau persiapan menghadapi bencana maka hal itu sangatlah baik karena pemahaman yang keliru bukan hanya merugikan tetapi bisa membahayakan diri sendiri. Sebenarnya, jika manusia mau mengerti dengan lingkungan maka sesungguhnya manusia tak akan menjadi korban dari bencana. Sejak jaman dulu, nenek moyang kita sudah sering bersahabat dan berkomunikasi dengan lingkungan alam sekitarnya. Nenek moyang kita mengerti tanda-tanda alam dan apa yang harus segera dibuatnya. Jika hutan atau pepohonan di sumber mata air dilarang untuk ditebang dengan alasan adanya Nitu atau setan penjaga maka sesungguhnya maksud dari peringatan itu adalah kita harus melindungi sumber mata air. Jika hutan dilarang untuk dibakar dengan alasan hujan tidak akan turun maka sesungguhnya maksud dari larangan itu adalah untuk melestarikan hutan itu sendiri. Bencana alam khususnya gempa bumi memang hingga saat ini belum bisa diprediksi.Namun, Tuhan sebenarnya telah memberikan hikmat kepada sebagian orang yang disebut para ahli untuk membuat perkiraan meski tanpa bisa memastikannya secara pasti perihal kapan bencana itu akan terjadi. Salah satu ahli yang pernah memprediksi bencana gempa bumi besar bakal terjadi di Banda Aceh adalah Dr.Danny Hilman Natawijaya. Dalam suatu diskusi ilmiah di Bandung enam tahun yang lalu, ia pernah memperkirakan akan terjadi gempa besar di kawasan Aceh dan perkiraannya ternyata benar terbukti bahwa tanggal 26 Desember 2004 pagi terjadi gempa bumi dan gelombang tsunami. Tanda-tanda alam lainnya adalah adanya arak-arakan burung putih yang bergerak menuju tengah kota Banda Aceh sebagai pratanda awal akan terjadinya bencana alam.
Untuk mengurangi dan meredam timbulnya korban dan kerugian harta benda akibat proses geologi yang tidak akan pernah berhenti maka masyarakat diharapkan diberikan pemahaman tentang mitigasi. Upaya mitigasi itu antara lain; pertama, menyiapkan data dan informasi daerah rawan gempa dan tsunami. Kedua, pemerintah daerah menata kawasan rentan tinggi dengan menata ulang lokasi. Ketiga, mensosialisasikan pemahaman bencana gempa, tsunami dan letusan gunung api. Keempat, perlu menyadari bahwa daerah tempat hunian adalah rawan bencana. Kelima, harua mengetahui apa yang akan dilakukan dan dihindarkan sesuai dengan sifat dan jenis bencana. Keenam, mengetahui cara menyelamatkan diri.
Secara khusus untuk gempa bumi, ada 14 langkah yang bisa dilakukan; (1). Mengamankan diri di bawah meja. (2). Segera matikan api terlebih kompor dan listrik bila terjadi kebakaran. (3). Jangan panic dan segera berlarilah keluar. (4). Segera buka pintu untuk keluar. (5). Lindungi kepala dan hindari objek yang berbahaya seperti tembok runtuh. (6). Jika berada di pertokoan, bioskop, bangunan bawah tanah, ikutilah petunjuk petugas. (7). Jika berada di lift atau elevator segeralah keluar. (8). Jika berada di kereta api, jangan panik dan segeralah amankan diri. (9). Jika berada di kendaraan segeralah berhenti dan ikuti petunjuk yang disiarkan melalui radio. (10). Jika berada di laut atau gunung, hindari tanah longsor dan tsunami. (11). Berilah pertolongan pertama bila seseorang di dekat anda terluka. (12). Bawalah barang sedikit mungkin dan berjalanlah ke tempat penampungan. (13). Jangan bertindak mengikuti kabar burung. (14). Ikutilah petunjuk melalui radio atau institusi resmi penanggulangan bencana alam.
Dengan mengetahui cara menyelamatkan diri ini diharapkan kita akan secara mandiri melakukan mitigasi bila terjadi bencana alam. Hal ini sangat penting diketahui bagi kita yang mendiami daerah yang rawan bencana alam karena Pulau Flores sendiri merupakan bagian dari 25 wilayah yang sangat rawan gempa bumi di Indonesia dan termasuk dari 18 wilayah yang rawan tsunami di Indonesia dan bahaya letusan gunung api.
Berkaca pada kondisi alam yang rentan tinggi ini maka sepatutnya pemerintah daerah dan masyarakat sedaratan Pulau Flores untuk secara sadar membangun rumah atau gedung yang tahan gempa. Rumah atau gedung harus didesain sedemikian rupa sehingga bila gempa terjadi, baik bahan bangunan maupun furniturenya sedapat mungkin tidak mencederai penghuni rumah. Bangunan gedung harus dirancang dan dibangun sesuai ketentuan yang dirumuskan dalam Standar Nasional Indonesia (SNI) tentang Peraturan Bangunan Tahan Gempa yang ditetapkan tahun 2002. Peraturan SNI itu menetapkan bangunan gedung yang idealnya memiliki masa pakai 50 tahun perlu dirancan sedemikian rupa sehingga memiliki daya tahan periode ulang gempa 500 tahun. Sebelum tahun 2002, criteria daya tahan gempa lebih rendah yaitu menggunakan periode ulang gempa 200 tahun. Bangunan di daerah rentan tinggi dirancang dengan kaidah-kaidah teknik kegempaan yang sangat ketat. Daya tahan bangunan terhadap gempa harus dievaluasi secara seksama. Para rancang bangun harus mempertimbangkan kondisi tanah baik yang relative lunak atau pasir yang terendam air. Fondasi bangunan harus menggunakan tiang dengan jumlah yang mencukupi untuk menahan beban horizontal akibat gempa.
Untuk menanggulangi tsunami, bagi daerah pesisir sangatlah baik untuk membudidayakan hutan bakau di setiap pantai. Hutan bakau memiliki sistim perlindungan dan pengamanan kawasan pesisir yang sangat baik. Setiap gelombang pasang yang datang mampu diredakan. Tidak mengherankan, banyak daerah yang memiliki hutan bakau umumnya lolos dari terjangan tsunami. Hutan bakau yang memiliki ketebalan 60 – 75 meter dari bibir pantai mampu mengurangi ketinggian gelombang laut sekitar 3,5 meter. Agar bisa mengantisipasi terjadinya bencana, setiap pemerintah daerah diharapkan bisa membuat peta rawan bencana untuk wilayah pesisirnya. Baik itu peta rawan bencana longsor, erosi, sedimentasi, maupun gempa dan gelombang tsunami. Dengan mengetahui peta rawan bencana tersebut, maka dapat menghindarkan kita semua dari potensi kerugian jiwa maupun materi dan investasi infrastruktur di wilayah pesisir. Dengan mengetahui cara mencegah terjadinya bencana alam, kini saatnya kita dalam semangat kebersamaan dan solidaritas social melakukan pencegahan dini dengan melestarikan lingkungan. Bukankah lingkungan adalah rumah tempat kita berdiam? Mari kita bersahabat dengan lingkungan alam agar terhindar dari bencana alam. (***)

*) Penulis adalah aktifis lingkungan hidup, Wapemred Tabloid Flores File, tinggal di Aegela.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar